Rabu, 27 April 2011

UCAPAN SELAMAT JALAN DARI SISWA KELAS VII DAN VIII


Assalamu’alaikum  wr. Wb.
Bismillahir rokhmaa nir rokhim. Alkhamdu lillahi robbil ‘alamiin. Wash sholaatu was salaamu ‘alaa asy rofil an biyaa I wal mer saliin. Sayyidinaa wamaulaaana Muhammadin, wa ‘alaa alihi wasoh bihii aj ma’iin. Amma ba’du.

 Yang terhormat Kepala SMP Negeri 2 Kutowinangun , Ibu Sri Ning Lestari S.Pd. M.M.Pd.
Yang terhormat Ketua Komite SMP Negeri 2 Kutowinangun , beserta jajaran pengurusnya.
Yang saya hormati Bapak-Ibu Wali Murid dari siswa kelas IX dan  seluruh tamu undangan.
Yang saya hormati Bapak –Ibu guru Staf Karyawan SMP Negeri 2 Kutowinangun.
Kakak-kakakku siswa kelas IX yang berbahagia.
Serta Teman-Teman siswa kelas VII dan Kelas VIII  yang saya banggakan.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Alloh subkhanahu wata ‘ala, atas segala limpahan rahmat dan hidayahnya , sehingga kita pada siang hari ini dapat bertemu dan berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat wal afiat, tidak kurang suatu apa pun.
Selanjutnya izinkanlah saya berdiri disini guna menyampaikan ucapan selamat jalan mewakili Teman-teman siswa kelas VII dan kelas VIII  SMP Negeri 2 Kutowinangun.

Kakak  kakak siswa kelas IX yang berbahagia.
Saya selaku wakil dari kelas VII dan VIII hanya dapat mengucapkan selamat jalan kepada kakak semua, teriring doa semoga kakak senantiasa dapat menjadi orang yang sukses di kemudian hari dan pula semoga kakak nantinya dapat menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama amin, amin, ya robbal alamin. Kami juga berdo’a semoga kakak-kakak nantinya dapat diterima di sekolah yang kakak cita-citakan sehinggga dapat mengharumkan nama SMP kita tercinta SMP N 2 Kutowinangun. Selanjutnya kami yang ditimnggal di sini mohon di do’akan semoga kami sukses dalam belajar.


Kakak-kakak yang saya sayangi dan saya banggakan.
Atas nama siswa kelas VII dan kelas VIII saya mohon maaf yang setulus-tulusnya, apabila selama ini kita bergaul dan berkumpul di SMP N 2 Kutowinangun sering terjadi kesalah pahaman dan melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak .Untuk itu sekali lagi kami mohon maaf.

Kakak – kakak kelas IX yang berbahagia
Yang terakhir kami hanya memohon walaupun kita sudah berpisah nanti sudilah kiranya kakak-kakak mengenang kami disini dan harap suatu saat nanti kakak berkenan menengok, mengunjungi kami di sini. Anggaplah perpisahan ini sebagai suatu hal yang wajar yang mesti terjadi. Kita berpisah hanya di lahirnya saja, dihati kita tetap bersatu
Hari ini membuat cangkul
Hari ini membuat pasah
Hari ini kita berkumpul
Hari esok kita berpisah
Akhirnya, Selamat berpisah, selamat berjuang , semoga  selalu mendapatkan  Ridlo Alloh swt, dan sukses selalu. Selamat jalan Kakak-kakakku, Semoga Alloh senantiasa melindungi kita semua, Allohumma Amin.
Wasssalamu ‘alaikum Wr. Wb.



                                                                                                          Kutowinangun,  7 Mei 2010  

UCAPAN SELAMAT JALAN DARI SISWA KELAS VII DAN VIII


Assalamu’alaikum  wr. Wb.
Bismillahir rokhmaa nir rokhim. Alkhamdu lillahi robbil ‘alamiin. Wash sholaatu was salaamu ‘alaa asy rofil an biyaa I wal mer saliin. Sayyidinaa wamaulaaana Muhammadin, wa ‘alaa alihi wasoh bihii aj ma’iin. Amma ba’du.

 Yang terhormat Kepala SMP Negeri 2 Kutowinangun , Ibu Sri Ning Lestari S.Pd. M.M.Pd.
Yang terhormat Ketua Komite SMP Negeri 2 Kutowinangun , beserta jajaran pengurusnya.
Yang saya hormati Bapak-Ibu Wali Murid dari siswa kelas IX dan  seluruh tamu undangan.
Yang saya hormati Bapak –Ibu guru Staf Karyawan SMP Negeri 2 Kutowinangun.
Kakak-kakakku siswa kelas IX yang berbahagia.
Serta Teman-Teman siswa kelas VII dan Kelas VIII  yang saya banggakan.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Alloh subkhanahu wata ‘ala, atas segala limpahan rahmat dan hidayahnya , sehingga kita pada siang hari ini dapat bertemu dan berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat wal afiat, tidak kurang suatu apa pun.
Selanjutnya izinkanlah saya berdiri disini guna menyampaikan ucapan selamat jalan mewakili Teman-teman siswa kelas VII dan kelas VIII  SMP Negeri 2 Kutowinangun.

Kakak  kakak siswa kelas IX yang berbahagia.
Saya selaku wakil dari kelas VII dan VIII hanya dapat mengucapkan selamat jalan kepada kakak semua, teriring doa semoga kakak senantiasa dapat menjadi orang yang sukses di kemudian hari dan pula semoga kakak nantinya dapat menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama amin, amin, ya robbal alamin. Kami juga berdo’a semoga kakak-kakak nantinya dapat diterima di sekolah yang kakak cita-citakan sehinggga dapat mengharumkan nama SMP kita tercinta SMP N 2 Kutowinangun. Selanjutnya kami yang ditimnggal di sini mohon di do’akan semoga kami sukses dalam belajar.


Kakak-kakak yang saya sayangi dan saya banggakan.
Atas nama siswa kelas VII dan kelas VIII saya mohon maaf yang setulus-tulusnya, apabila selama ini kita bergaul dan berkumpul di SMP N 2 Kutowinangun sering terjadi kesalah pahaman dan melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak .Untuk itu sekali lagi kami mohon maaf.

Kakak – kakak kelas IX yang berbahagia
Yang terakhir kami hanya memohon walaupun kita sudah berpisah nanti sudilah kiranya kakak-kakak mengenang kami disini dan harap suatu saat nanti kakak berkenan menengok, mengunjungi kami di sini. Anggaplah perpisahan ini sebagai suatu hal yang wajar yang mesti terjadi. Kita berpisah hanya di lahirnya saja, dihati kita tetap bersatu
Hari ini membuat cangkul
Hari ini membuat pasah
Hari ini kita berkumpul
Hari esok kita berpisah
Akhirnya, Selamat berpisah, selamat berjuang , semoga  selalu mendapatkan  Ridlo Alloh swt, dan sukses selalu. Selamat jalan Kakak-kakakku, Semoga Alloh senantiasa melindungi kita semua, Allohumma Amin.
Wasssalamu ‘alaikum Wr. Wb.



                                                                                                          Kutowinangun,  7 Mei 2011
                                                                                                                  Sat Siswonirmolo 

Sambutan Perpisahan Perwakilan Kelas IX




Assalamu’alaikum  wr. Wb.
Bismillahir rokhmaa nir rokhim. Alkhamdu lillahi robbil ‘alamiin. Wash sholaatu was salaamu ‘alaa asy rofil an biyaa I wal mer saliin. Sayyidinaa wamaulaaana Muhammadin, wa ‘alaa alihi wasoh bihii aj ma’iin. Amma ba’du.

 Yang terhormat Kepala SMP Negeri 2 Kutowinangun , bapak Warno, S.Pd.
Yang terhormat Ketua Komite SMP Negeri 2 Kutowinangun , beserta jajaran pengurusnya.
Yang saya hormati Bapak-Ibu Wali Murid dari siswa kelas IX dan  seluruh tamu undangan.
Yang saya hormati Bapak –Ibu guru Staf Karyawan SMP Negeri 2 Kutowinangun.
Rekan-rekan siswa kelas IX yang saya sayangi.
Serta Adik-adikku siswa kelas VII dan Kelas VIII  yang berbahagia.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Alloh subkhanahu wata ‘ala, atas segala limpahan rahmat dan hidayahnya , sehingga kita pada siang hari ini dapat bertemu dan berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat wal afiat, tidak kurang suatu apa pun.
Selanjutnya izinkanlah saya berdiri disini guna menyampaikan sekedar sepatah dua patah kata  mohon pamit mewakili rekan-rekan siswa kelas IX  SMP Negeri 2 Kutowinangun.

Ibu Kepala Sekolah yang kami hormati,
Bapak-Ibu guru serta hadirin yang kami muliakan.
Setelah kami terima pengumuman hasil UN dan US nanti maka berakhirlah masa belajar kami, di SMP Negeri 2 Kutowinangun Tercinta ini. Untuk itu perkenankan pada kesempatan ini saya atas nama rekan-rekan  siswa kelas IX SMP Negeri 2 Kutowinangun, Tahun Pelajaran 2009-2010, mohon pamit untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Kami mohon doa restu dari  Ibu kepala Sekolah, Bapak dan Ibu Guru beserta Staf Karyawan SMP Negeri 2 Kutowinangun, dan Adik-adikku siswa Kelas VII da kelas VIII. Agar kami dapat meningkatkan prestasi dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini  kami menyampaikan rasa terima kasih kami yang tiada terhingga kepada Ibu Kepala Sekolah, Bapak dan Ibu guru  yang telah dengan sabar dan penuh perhatian berkenan membimbing kami selama 3 tahun di sekolah ini. Sesungguhnya  banyak sekali jasa  yang telah Bapak dan Ibu berikan kepada kami,  dan kami tak akan sanggup membalasnya. Semoga saja jasa Bapak dan Ibu guru kepada kami, akan mendapatkan imbalan yang setimpal dari Alloh subkhanahu wata ‘aala, dengan teriring doa “Jazaa kumullohu akh sanal jaza”.

Kepada adik-adikku siswa kelas VII dan kelas VIII, kami mengucapkan terima kasih atas kerjasama yang baik selama ini, dan kami berpesan “ Janganlah kalian bersikap santai dan tidak disiplin, karena hal itu akan mengecewakan diri kalian sendiri. Turuti nasehat Bapak dan Ibu Guru. Terus giat Belajar, tingkatkan terus Prestasi  agar SMP Negeri 2 Kutowinangun tetap jaya.

Yang terakhir,
Kepada Ibu Kepala Sekolah, Bapak Ibu Guru beserta Staf Karyawan dan Adik-adikku siswa Kelas VII dan Kelas VIII SMP Negeri 2 Kutowinangun. Tentulah selama kita bergaul, berkumpul menuntut ilmu, dan menjalin kerjasama di sekolah ini sering terjadi kesalah pahaman antara kita. Terlebih-lebih dengan Bapak dan Ibu guru, tentulah banyak sekali kesalahan yang kami lakukan. Untuk itu lewat kesempatan yang baik ini, saya atas nama pribadi ataupun  atas nama rekan-rekan siswa kelas IX seluruhnya , dengan tulus menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya.

Akhirnya, Sayonara SMP ku  yang tercinta,
Selamat berpisah  terkasih adik-adikku, Selamat tinggal Bapak dan Ibu Guruku tercinta, Jasamu tiada tara, Semoga Alloh senantiasa melindungi kita semua, Allohumma Amin.
Wasssalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Sat Siswonirmolo

Sekolah Sebagai Pusat Perubahan Sosial*

 http://zakiryacub.wordpress.com/2007/05/11/sekolah-sebagai-pusat-perubahan-sosial/
 May 11, 2007@ 2:53 am
Oleh : Muhammad Zakir Akbar**
Salam Sejahtera untuk kita semua…
Ibu Bapak yang saya hormati!!!
MEMULAI pembicaraan ini saya ingin menyampaikan penghargaan kepada pihak panitia yang telah mengundang saya untuk turut serta memberi sumbang saran dan pikiran untuk merefleksikan kondisi pendidikan di daerah kita sebagai bagian dari kegiatan peringatan Hari Pendidikan nasional yang kita peringati setiap tanggal 2 Mei. Kendati begitu, naif rasanya untuk bicara banyak di depan para ibu dan bapak guru serta para pelaku pendidikan pada umumnya yang tentu sudah sangat berpengalaman.
Namun, karena telah diberi amanat, maka saya akan mencoba memberikan perspektif yang lain dalam memotret dunia pendidikan kita. Mungkin saya akan sedikit berbeda dengan yang lain dalam melihat persoalan pendidikan kita. Namun yang pasti, kita bersepakat untuk memajukan dunia pendidikan.
Apa yang akan saya sampaikan hari ini adalah hasil cermatan saya atas apa yang saya alami ketika menjadi Anak TK di Polewali, bersekolah SD di SDN No.017 di Manding, MTs Pesantren Darul Arqam di Makassar, SMA 1 di Polewali dan PT di UGM, Yogyakarta. Di samping itu saya juga pernah menjadi Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan dan Fakultas Pertanian Unasman dan saya kebetulan aktif di berbagai kegiatan yang berkaitan dengan advokasi di bidang pendidikan di bawah prakarsa Unicef, Unesco dan Bank Dunia.
Ibu Bapak yang saya hormati!!!
SEJAK kecil kita semua telah sangat dekat dengan sebutan sekolah. Hampir semua orang tua selalu menyarankan kepada anaknya untuk bersekolah dan memberi gambaran tentang indahnya bersekolah. Dulu, ketika belum memasuki usia sekolah, karena melihat gerombolan anak-anak berseragam menuju ke sekolah, maka dalam benak kita ada keinginan untuk ikut bersekolah. Sulit melacak pasti jawabannya, kenapa kita pada masa kecil dulu begitu senang ketika melihat anak sekolah yang berseragam. Mungkin karena indahnya pakaian seragam itu, mungkin karena desakan orang tua, mungkin karena kita tidak punya teman bermain di rumah atau mungkin-mungkin yang lain… Saya sendiri waktu bersekolah dulu lebih karena ikut-ikutan kepada dua orang kakak laki-laki saya yang terlebih dulu bersekolah.
Saya sengaja mengajak kita semua untuk set back ke belakang. Ini penting agar back mind kita yang membentuk struktur berpikir kita lebih mudah dipahami. Karena semua orang tidak bisa lepas dari sejarah masa lalunya. Apa bagaimana saat ini kita, adalah merupakan rangkaian masa lalu. Masa kecil. Karena kala itulah karakter kita terbentuk dan awal dari pengetahuan dan ilmu kita serap. Begitu pentingnya masa kecil, hingga dalam sebuah syair Arab dikatakan; Ta’allamu fissighari kannaqsi alalhajari, wa tallamu fil kibari kannaqsi alal mai (Belajar Diwaktu Kecil seperti menulis diatas batu dan belajar di waktu besar laksana menulis di atas air).
Saya ingin menyampaikan sebuah refleksi yang kerap saya ceritakan kepada beberapa teman. Pernahkah kita menyadari bahwa ketika pada masa lalu hampir seluruh anak SD di negeri ini diberi tugas menggambar maka; hampir seluruhnya akan menggambar DUA GUNUNG SATU MATAHARI. Kenapa bisa begini? Jawabannya bagi saya hanya satu, yakni; Proses penyeragaman telah memasung KREATIVITAS ANAK. Semua serba seragam. Mulai pakaian yang WAJIB MERAH HATI, PADA HARI JUMAT WAJIB PRAMUKA, baris-berbaris dan lainnya. Apalagi di tingkat SMP dan SMA. Dengan keberadaan GURU BP yang sejatinya diharapkan menjadi sarana konseling bagi anak, justru mendesain dirinya dirinya sebagai sosok yang mesti ditakuti. Akibatnya, banyak anak didik DISIPLIN secara SEMU.
PAPAN Nama dan Tanda Lokasi sekolah yang mesti ada, baju yang harus di dalam, rambut harus pendek, harus ikut upacara dan lainnya. Akibatnya, tidak sedikit anak didik yang kalau meminjam istilah Thomas Hobbes bersifat ASOSIAL, akan main curi-curi akal dengan guru BP. Merokok secara sembunyi, lompat pagar, pura-pura sakit untuk bolos dan sebagainya. Cobalah tengok, kenapa di Pasar Sentral Pekkabata hampir setiap harinya–bukan hanya waktu hari pasar–banyak anak sekolah yang bolos!!! Di samping beberapa faktor lain, menurut hemat saya, password-nya adalah KARENA SEKOLAH TIDAK NYAMAN. Karena yang terjadi bukanlah pencerahan, melainkan dominasi!!! Ini semua adalah sekelumit potret dari kondisi pendidikan kita. Kenapa ini bisa terjadi?
Bagi saya, jawaban yang layak diaksentuasi adalah karena sistem pendidikan yang ada menjadikan sekolah sebagai sebuah proses regulasi formal. Sebuah ajang untuk memperoleh legitimasi berupa ijazah, lain tidak, untuk menjadi cerdas, sistem pendidikan kita tidak memberi ruang itu. Disinilah anehnya. Guru, kepala sekolah dan pengelola pendidikan sering menuntut anak didik untuk pintar, tapi celakanya cara mereka justru secara sadar/tidak sadar menutup ruang tersebut. Disiplin diukur dengan rambut yang rapi, baju di dalam, pakaian yang seragam dan sebagainya. Akhirnya, sistem pendidikan yang ada hanya mampu mencetak anak didik untuk MENJADI, bukan MEMBUAT.
Makanya, jangan heran jika dari sepuluh anak didik yang ditanyai tentang citacitanya, bisa jadi lebih dari separuh bahkan mungkin seluruhnya akan menjawab; MAU JADI DOKTER, JADI PEGAWAI, JADI PILOT dan sebagainya. Hampir tidak pernah kita mendengar cita-cita mau MEMBUAT PESAWAT, MEMBUAT OBAT dan lainnya. Ini baru level cita-cita, belum yang lainnya.
Untuk itulah, pada kesempatan ini, saya ingin mengemukakan sekelumit gagasan tentang SISTEM PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN menuju tujuan sekolah sebagai PUSAT PERUBAHAN SOSIAL. Yang bermakna bahwa sekolah adalah ajang berproses, membuka dan mengembangkan nalar peserta didik serta membangun kesadaran kritis untuk mendesain kehidupan ke arah yang lebih baik.
Ibu Bapak Yang Saya Hormati!!!
BAGAIMANA menjadikan sekolah sebagai pusat perubahan sosial??? Ada beberapa hal yang menjadi prasyaratnya, meskipun mesti disadari bahwa ini bukan pekerjaan yang mudah. Butuh proses yang cukup lama dan panjang, meskipun tidak berarti kita harus berhenti dan berkata TIDAK….
Sekolah sebagai pusat perubahan sosial bermakna bahwa sekolah harus mampu melahirkan berbagai kreasi dan inovasi yang dapat dijadikan referensi dalam proses kehidupan, paling tidak perubahan terhadap anak didik, syukur-syukur terhadap masyarakat di sekitar sekolah tersebut. Perubahan itu terdiri atas PERUBAHAN PENGETAHUAN, PERUBAHAN SIKAP dan PERUBAHAN PERILAKU yang tentunya berciri damai…
Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan PERUBAHAN PARADIGMA dalam memandang sekolah. Sekolah tidak melulu harus diletakkan dalam WILAYAH NEGARA, namun semestinya menjadi WILAYAH PUBLIK…. Disini terjadi dilema!!! Ketika negara melepaskan dirinya dari sekolah, maka itu berarti bahwa sekolah mesti meregulasi dan menghidupi dirinya sendiri. Sebaliknya, ketika negara mengintervensi sekolah, maka pasti yang terjadi adalah hegemoni dan atau dominasi.
Coba kita lihat, mulai dari ribut-ribut DANA BOS yang bermakna ketergantungan
seluruh sekolah kepada negara—khususnya sekolah berlabel negeri—sampai pada persoalan mutasi guru dan kepala sekolah yang mesti mendapat restu dari Dinas Pendidikan. Ini adalah dua sisi mata uang. Dalam satu hal, masyarakat tidak mampu atau tidak dimampukan untuk membayar uang sekolah anaknya. Pada bagian lain, partisipasi masyarakat atas proses pendidikan di sekolah menjadi berkurang jika intervensi pemerintah terlalu besar.
Padahal, untuk mencapai cita-cita sekolah sebagai pusat perubahan sosial, kita memerlukan apa yang disebut dengan SISTEM PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN yang didukung oleh beberapa perangkat Utama, yakni:
1. Penyelenggaraan Sekolah Yang Mencerahkan (Guru dan Kepala Sekolah)
2. Struktur Masyarakat Yang Partisipatif
Apa yang kita kenal dengan Pendekatan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) sesungguhnya juga merupakan upaya agar sekolah dapat menjadi pusat perubahan sosial. Melalui tiga pilar utamanya: Manajemen (Kepala sekolah), PAKEM (guru) dan PSM (Peran serta masyarakat). Namun, untuk soal membangun partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan, akan dibicarakan pada kesempatan yang lain.
Faktanya, hingga sekarang, penyelenggara sekolah masih selalu berada dalam posisi yang tidak sepenuhnya mendukung Pendidikan Pemberdayaan. Dalam proses pengajaran misalnya, belum semua guru dan atau sekolah menerapkan metode PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) dalam proses belajar di sekolah.
Mengapa PAKEM menjadi penting??? Menurut Pablo Friere, seorang pendidik Berkebangsaan Brazil, ada 3 prinsip utama dalam proses pengajaran:
Pendidikan itu berciri “penyimpanan informasi”. Maksudnya, ilmu dan pengetahuan yang diperoleh siswa, disimpan dalam wilayah pasif ingatan pada otak/mind. Untuk mengeluarkan informasi ini, guru mesti membantu anak didik dengan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang patut dan memampukan peserta didik untuk mengembangkan skema-skema bagi penerapan aktif mereka. Tidak sebaliknya, melulu memberikan pertanyaan tertutup bagi murid yang jelas-jelas menutup perkembangan nalar mereka.
Pendidikan harus berdasarkan permintaan dan pengalaman hidup. Artinya ilmu yang diberikan mesti memiliki kontekstualitas dengan realitas hidup peserta didik. Inilah yang dimaksud dalam metode contekstual teaching and learning (CTL).
Proses pendidikan adalah proses pertukaran dan dialog atau refleksi dan aksi. Bukan CERAMAH!
Ibu Bapak Yang Saya Hormati!!!
LANTAS, bagaimana proses pendidikan kita sekarang??? Hingga saat ini, potret proses belajar di sekolah tidak lebih dari gambaran:
“Seseorang yang duduk di dalam ruangan adalah murid, seseorang yang berdiri (atau duduk?) di depannya adalah guru. Setiap orang tahu bahwa seorang guru adalah cerdas, aktif, enerjik. Mereka secara virtual membawa seisi kelas fokus kepadanya. Bagaimana dengan murid? mereka mungkin ingin tahu dan tidak begitu ingin tahu, bersahabat dan acuh-tak acuh, rajin dan pemalas, aktif dan pasif. Mereka dipisahkan dengan guru oleh garis batas yang tidak tampak. Perannya sangat jelas. Perannya berbeda”.
Ini sebuah pemotretan yang saya lihat dan alami. Kondisi yang dalam perspektif Sistem Pendidikan Pemberdayaan adalah sesuatu yang tidak dikenal alias asing. Sebaliknya, dalam Sistem Formalisasi Pendidikan, adalah lestari. Alasannya, model ini justru melanggengkan KULTUR DOMINASI yang sejatinya tidak mencerahkan.
Mengapa tembok ini tidak segera diruntuhkan??? Mengapa tidak ada kesempatan
yang sama antara guru dan murid? Apa yang dibutuhkan untuk itu? Mengapa kita
tidak mencoba belajar dalam suatu lingkaran??? Dimana guru dan murid melupakan perannya, dengan membuat lingkaran dan mulai belajar. Semua adalah sama. Dinding atau sekat yang tidak tampak itu dihancurkan. Tidak ada lagi guru dan murid. Yang ada hanyalah satu peran yakni: “setiap orang – untuk menjadi dirinya masing-masing dan hanya ada satu keinginan, yakni belajar”. Setiap orang mempunyai persamaan hak dan kesempatan. Dan peraturan adalah sama untuk semuanya, misalnya:
Semua harus tepat waktu
Semua harus tahu bagaimana cara mendengarkan: (Learn to listen and listen to learn). Jangan hanya ingin didengarkan
Semua mempunyai hak untuk mengungkapkan fikirannya.
Lalu guru dan murid mulai berbicara. Tentang apapun. Tentang dunia sekitar. Tentang kedudukan aktif manusia dalam kehidupan, soal kepemimpinan, konflik dan penyelesaiannya. Tentang suatu lingkungan dimana manusia hidup didalamnya, tentang waktu yang membawa sebuah kesempatan kepada siapapun, atau tentang diri masing-masing.
Lalu guru dan murid melihat bahwa semua orang adalah berbeda dan semua sangat menyukai perbedaan itu. Ini yang harus selalu dipraktekkan. Tidak ada seseorangpun yang penting, karena semua orang adalah penting. Kelompok minoritas juga mempunyai hak untuk didengarkan, mereka mempunyai hak untuk tetap minoritas. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk memaksakan pandangannya terhadap orang lain, untuk mengatur suatu peran. Setiap orang memilih perannya masing-masing.
Semua adalah sama, laki-laki dan perempuan. Tetapi apakah begitu di dalam kehidupan? Posisi apa yang ditempati oleh perempuan di masyarakat? Apakah perempuan bahagia dengan peranannya? Yang pasti, pendidikan anak perempuan masih didasarkan pada pedagogi pembedaan. Pendidikan semacam ini ditujukan untuk menekan perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki dan bukan untuk menemukan kesamaan-kesamaan yang dapat membantu menghilangkan pembedaan-pembedaan tersebut.
Pedagogi semacam ini mungkin saja dimulai dari sekolah atau masyarakat. Yang pasti dia menjadi lestari. Orang tua atau guru mendidik anak perempuan secara berbeda karena orang tua, kerabat, guru, tetangga melihat anak perempuan sebagai secara mendasar berbeda dengan anak laki-laki. Padahal, Perbedaan ini sebenarnya berdasarkan pembedaan yang disosialisasikan dan bukan secara fisiologis.
Lihat buku cetak yang digunakan sekolah dasar. Buku itu akan mengandung kalimat seperti “Ibu membersihkan jendela”. “Wati Pergi ke Pasar”. “Budi Pergi ke sekolah”. Mengapa tidak sesekali “Wati ke Sekolah dan Budi yang ke Pasar”??? Hal ini bermakna, sekolah turut serta dalam melangengkan pembedaan peran menurut jenis kelamin yang sering pula kita kenal dengan sebutan DISKRIMINASI JENDER. Ini sungguh tidak adil…. Anak perempuan berbeda dengan laki-laki secara biologis, Perbedaan ini, secara psikologis maupun fisiologis, mencerminkan perbedaan jenis kelamin. Peranan perempuan yang alami berhubungan dengan kehamilan, melahirkan dan menyusui.
Namun perbedaan seksual berbeda dengan perbedaan jender. Jender merujuk pada perbedaan sosial dan budaya antara perempuan dan laki-laki dan ditempatkan melampaui perbedaan fisik. Dalam masyarakat, perempuan cenderung mengambil peranan di wilayah domestik dan laki-laki pada wilayah publik.
Ibu Bapak Yang Saya Hormati!!!
KIRANYA telah nyata di hadapan kita tentang bejibun masalah pendidikan karena selalu menekankan dirinya pada formalisasi. Ini tentu menghambat cita-cita menjadikan sekolah sebagai pusat perubahan sosial. Justru sebaliknya, sekolah menjadi perpanjangan proses dehumanisasi.
Karenanya, mesti ada upaya dana langkah yang diambil untuk meletakkan pendidikan dalam bingkai pemberdayaan anak didik dan masyarakat. Dengan begitu, dominasi dapat dielakkan, hingga sekolah menjadi menara perubahan yang tidak perlu takut kepada siapapun dan hanya tunduk kepada kebenaran…. Hanya dengan begitu kita mampu melahirkan peserta didik yang kritis terhadap diri dan lingkungannya yang pada gilirannya mampu menciptakan kreasi dan inovasi menuju perubahan. Mungkin ini saja yang saya dapat sampaikan, semoga memberi hikmah. Mohon maaf atas segala ucapan yang berpretensi menyinggung. Sungguh tidak ada sedikitpun maksud saya untuk menjadi hakim, karena saya juga sadar akan segala keterbatasan saya…..
Sebelum mengakhiri pembicaraan ini, izinkanlah saya mengutip sebuah syair dari Kahlil Gibran:
Anakmu bukanlah anakmu,
Mereka adalah anak-anak kehidupan…
cinta kasihmu dapat kau berikan pada mereka, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka mempunyai pikiran sendiri,
Raga mereka dapat kau kurung, tapi tidak jiwa mereka,
Karena jiwa mereka tinggal di rumah masa depan,
Yang tak dapat kau kunjungi, Bahkan tidak melalui mimpimu,
Kau dapat berjuang untuk menyerupai mereka,
Tapi jangan coba buat mereka menyerupaimu,
Karena hidup tidak berjalan mundur,
Ataupun berlambat-lambat dengan hari kemarin,
Kau adalah busur yang melesatkan mereka,
Mereka adalah anak panah yang berjiwa
Akhirnya, selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga Cita-Cita Kihajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional yang dicetuskannya pada 2 Mei 1908 lalu, menjadi pelita dan semangat yang terus berkobar pada diri kita hingga mewujud. Mohan maaf atas segala KEKHILAFAN dan KATA YANG TIDAK MENGENAKKAN.
Wassalam
Manding, 1 Mei 2006
Pukul 02.11 Wita…

Pendidikan Nasional Sebagai Pendorong Perubahan Sosial

 Persembahan Menyongsong Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2011
A. Pendahuluan
            Memasuki Millennium ketiga, kita dihadapi pelbagai persoalan dan perubahan sosial (masyarakat) yang unpredictability [1](ketidakmampuan untuk memperhitungkan apa yang akan terjadi). Hal ini menuntut adanya peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang lebih baik. Perubahan itu sendiri didorong oleh tiga faktor, yaitu: perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kependudukan, dan faktor ekologi atau lingkungan hidup.[2]
Menurut Kuntowijoyo (1997) ada tiga tahapan perubahan masyarakat. Pertama, tahap masyarakat ganda, yakni ketika terpaksa ada pemilahan antara masyarakat madani (civil society) dengan masyarakat politik (political society) atau antara masyarakat dengan Negara. Karena adanya pemilahan ini, maka dapat terjadi Negara tidak memberikan layanan dan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Kedua, tahap masyarakat tunggal, yaitu ketika masyarakat madani sudah berhasil dibangun. Ketiga, tahap masyarakat etis (ethical society) yang merupakan tahap akhir dari perkembangan tersebut.[3] Masyarakat etis, yakni masyarakat yang dibentuk oleh kesadaran etis, bukan oleh kepentingan bendawi. Kesadaran etis ini pun mengimplikasikan keragaman nilai etis yang perlu dicari kompatibilitasnya dalam nilai-nilai universal dan nilai-nilai pancasila.[4]
            H.J. Suyuthi Pulungan mengutip pendapat Alvin Toffler (buku future shock tahun 1970) bahwa garis perkembangan peradaban manusia terangkum ke dalam tiga gelombang (third wave). Gelombang pertama (first wave) disebut fase pertanian, yang menggambarkan betapa bidang pertanian telah menjadi basis peradaban manusia. Pada fase ini, keberhasilan dan kekuasaan ditentukan oleh tanah dan pertanian. Gelombang kedua (second wave) disebut sebagai fase industri, lantaran industri menjadi poros dan sumber pengaruh dan kekuasaan. Peradaban manusia pun didominasi oleh para penguasa industri yang umumnya terdiri kaum konglomerat dan pemilik modal. Gelombang ketiga (third wave) disebut fase informasi. Menempatkan informasi sebagai primadona dan penentu kesuksesan. Toffler pun membuat semacam prognosis, bahwa “siapa yang menguasai informasi maka ia akan menguasai kehidupan.[5]
            Melihat ketiga faktor perubahan dan perkembangan peradaban yang telah diramalkan oleh Toffler sejak 1970, sekarang kita berada pada fase ketiga, yaitu fase informasi. Indikatornya adalah maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Dunia, sebagai salah satu faktor pendorong perubahan sosial dan peradaban manusia.
            Dalam fase ini, siapa yang menguasai informasi, baik ilmu pengetahuan dan teknologi, ia akan dapat mengusai Dunia. Bangsa Indonesia yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) karena mayoritas pendudukannya buta akan informasi dan sulit mengakses pendidikan yang modern (maju), maka bangsa kita jauh ketinggalan dengan Negara lain.
Pertanyaan kemudian, benarkah pendidikan merupakan salah satu faktor perubahan? Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai pendidikan/pendidikan nasional sebagai pendorong perubahan  sosial.


B. Pembahasan
  1. Arti Perubahan Sosial
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.[6]
Para pakar sosiologi telah mengumpulkan dan menganalisis berbagai studi mengenai perubahan sosial (sosial changes). Dari berbagai studi tersebut dapat digolongkan penelaahan perubahan sosial tersebut berputar kepada enam persoalan pokok, yaitu:
a.   Apakah sebenarnya yang berubah? Pertanyaan ini tertuju kepada struktur sosial yang mengalami berbagai perubahan. Struktur sosial misalnya keluarga. Lembaga-lembaga sosial, lembaga-lembaga keagamaan, lembaga-lembaga politik dan bermacam-macam jenis lembaga yang ada di dalam suatu masyarakat. Perubahan tersebut ada yang lambat ada pula yang berjalan dengan cepat.
b.   Bagaimana hal tersebut itu berubah? Perubahan sosial tersebut tentunya mengambil berbagai bentuk perubahan sesuai dengan kondisi dimana perubahan terjadi.
c.   Apa tujuan perubahan itu? Sudah tentu perubahan sosial yang terjadi bukanlah suatu perubahan yang otomatis dan mekanistis, tetapi tentunya mempunyai suatu tujuan.
d.   Seberapa cepat perubahan itu? Perubahan sosial ada yang secara revolusioner, mungkin ada yang berjalan secara bertahap. Perubahan secara bertahap pun berjenis-jenis, ada yang cepat ada yang lambat.
e.   Mengapa terjadi perubahan? Seperti yang telah kita lihat dalam pertanyaan nomor 3, perubahan sosial selalu mempunyai tujuan. Oleh sebab itu, tentunya ada sebab-sebab mengapa terjadi perubahan.
f.    faktor-faktor apa saja yang berperan di dalam perubahan tersebut? Suatu perubahan sosial mengenai kehidupan bersama manusia tentunya mempunyai berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu jaringan dari berbagai faktor yang telah menyababkan perubahan sosial tersebut. Pertanyaan 2,3, dan 4 memerlukan tinjauan histories. [7]
      Dari sini nampak bahwa manusialah faktor utama terjadinya sebuah perubahan. Pada dasarnya, manusia tak lepas dari perkembangan individu baik karena pergumulan/interaksi antar sesama maupun proses belajar atau pun mengajar. Contohnya:  ketika kita mengenal komputer, maka kita gunakan komputer sebagai alat menulis yang sebelumnya menggunakan mesin ketik manual. Dalam hal ini terjadi perubahan seseorang setelah dia mengenal komputer dia meninggalkan mesinketik manual.
  1. Teori-teori Perubahan Sosial
·         Linear Theory: melalui tahapan-tahapan (stage) dan selalu menuju ke depan; misalnya adanya perubahan masyarakat, dari masyarakat buta huruf menjadi masyarakat melek huruf.
·         Spiralic Theory: melalui pengulangan-pengulangan diiringi kematangan didalamnya; misalnya pandangan masyarakat dalam berpolitik dengan sistem multipartai.
·         Cyclical Theory: melalui putaran panjang yang pada suatu saat menemukan track yang pernah dilalui; misalnya kembalinya masyarakat Barat kepada hal-hal yang natural dalam pengobatan, keyakinan, dsb.
·         Teori Historis: Kemajuan masyarakat mengacu masyarakat maju berdasar jamannya. Episentrumnya berpindah-pindah; dari Sungai Indus (India), Sungai Yang Tse (Cina), Lembah Sungai Nil (Mesir), Yunani-Romawi, Eropa Barat, Amerika Utara, sampai Jepang.
·         Teori Relativisme: Kemajuan masyarakat mengacu masyarakat Barat, khususnya AS. Episentrumnya Barat. Modernisasi = westernisasi. Kriteria: teknologi maju, organisasi sosial mendukung, ekonomi maju, dan politik mapan.
·         Teori Analitik: Kemajuan masyarakat ditandai dari berbagai aspek: ekonomi, politik, keluarga, mobilisasi sosial, dan agama yang semuanya itu bertumpu pada perkembangan iptek (pendidikan).[8]
Teori-teori ini memberikan gambaran mengenai bentuk-bentuk perubahan sosial (sosial change) yang terjadi di masyarakat. Misalnya Linear Theory, dengan melalui beberapa tahap menuju ke depan, atau menuju perubahan yang lebih baik. Contohnya perubahan masyarakat yang awalnya buta huruf menjadi melek huruf setelah adanya pendidikan.
  1. Perubahan Sosial di tinjau dari Pedagogik (pendidikan)
a.       Perubahan Sosial ditinjau dari Pedagogik tradisional
Pertama-tama, kita lihat pedagogik tradisional memandang lembaga pendidikan sebagai salah satu dari struktur sosial dan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itru, lembaga pendidikan[9] seperti sekolah  perlu disiapkan agar lembaga tersebut berfungsi sesuai dengan perubahan sosial yang terjadi. Apabila lembaga sekolah tidak dapat mengikuti perubahan sosial maka dia kehilangan fungsinya dan kemungkinan besar dia ditinggalkan masyarakat. [10]
Sebagai lembagai lembaga sosial, maka proses belajar di dalam sekolah haruslah disesuaikan pula dengan fungsi dan peranan lembaga pendidikan. Fungsi sekolah ialah mentarnsmisikan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat dan kebudayaan pada saat itu. Di dalam pedagogik tradisional, tempat individu adalah sebagai obyek perubahan sosial. Imdividu tersebut mempelajari peranan yang baru di dalam kehidupan sosial yang berubah. Sekolah adalah tempat yang memperoleh legitimasinya dari kehidupan masyarakat atau pemerintah yang mempunyainya.[11]
b.      Perubahan Sosial ditinjau dari Pedagogik Modern (pedagogik transformatif)
Titik tolak dari pedagogik transformatif ialah “individu-yang-menjadi.” Apa artinya individu-yang-menjadi? Hal ini berarti seorang individu hanya dapat berkembang di dalam interaksinya dengan tatanan kehidupan sosial budaya di mana dia hidup. Individu tidak dapat berkembang apabila diisolasikan dari dunia sosial budaya di mana di mana dia hidup. Hal ini berarti adanya suatu pengakuan peran aktif partisipatif dari individu yang menjadi dalam tatanan kehidupan sosial dan budayanya. Individu bukanlah sekedar menerima nilai-nilai tersebut hanya dapat dimilikinya melalui peranannya yang aktif partisipatif di dalam aktivitas sosial budaya dalam lingkungannya. Jadi, berbeda dengan pandangan pedagogik tradisional yang melihat individu sebagai suatu makhluk yang pasif reaktif, yang hanya berkembang karena pengaruh-pengaruh dari luar, termasuk pengaruh dari perubahan sosial yang terjadi dalam lingkungannya.[12]
Pandangan pedagogik transformatif terhadap individu bukanlah sebagai suatu entity yang telah jadi, tetapi yang sedang menjadi. Individu mempunyai peran emansipasif di dalam kehidupan sosial budaya, termasuk melalui proses pendidikan dalam lingkungan keluarga (batih) dan sekolah. Di dalamnya peranannya yang emansipatif tersebut maka individu bukan hanya sebagai obyek dari perubahan sosial, tetapi sekaligus pula berperan sebagai faktor dari pengubah dan pengarah dari perubahan sosial.[13] Atau agen of change (individu-individu pengubah).
Dalam pendidikan transformatif, peserta didiklah yang berperan terjadinya perubahan dalam diri mereka. Adapun peran guru hanyalah sebagai pendorong dan motivator.  Dalam hal ini, kita ingat filosofi Ki Hadjar Dewantara yang berbunyi: Tut Wuri Handayani artinya dari belakang memberikan dorongan dan arahan. Hal ini mempunyai makna yang kuat tentang peran dan fungi guru. Para guru perlu berperan sebagai pendorong atau motivator. Mereka juga perlu berperan sebagai pengarah atau pembimbing yang tidak membiarkan peserta didik melakukan hal yang kurang sesuai dengan tujuan pendidikan. Dengan demikian, para guru perlu menjadi fasilitator agar dorongan dan bimbingan dapat terwujud dalam perubahan perilaku peserta didik.[14]


  1. Pendidikan Nasional sebagai Pendorong Perubahan Sosial
Kalau di atas telah disinggung berbagai persoalan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat maupun di lingkungan lembaga pendidikan (sekolah), baik pendidikan tradisional maupun modern, sekarang bagaimana dengan peran pendidikan nasional sebagai pendorong perubahan sosial?
Dalam UU Sisdiknas 2003 Pasal 3 dikatakan bahwa: pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.[15]
Dalam UU Sisdiknas di atas, nampak bahwa fungsi pendidikan nasional sebagai salah satu faktor perubahan sosial atau pengembangan potensi/kompetensi peserta didik. Perubahan-perubahan tersebut adalah :
a.       pengembangan kemampuan (baik intelektual maupun interaksi sosial)
b.      pembentukan watak
c.       pembentukan peradaban bangsa yang bermartabat di mata bangsa lain.
d.      mencerdaskan bangsa kehidupan bangsa.
e.       mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

C. Analisis dan Kesimpulan
            Melihat nilai-nilai perubahan sosial yang terangkum dalam fungsi pendidikan nasional, dapat kita tarik kesimpulan bahwa pendidikan nasional memiliki muatan nilai sebagai pendorong terjadi perubahan sosial, khususnya pengembangan potensi/ kompetensi peserta didik sebagai salah satu bagian dari masyarakat (sosial).
            Sebagaimana pandangan pendidikan transformatif terhadap individu bukanlah sebagai suatu entity yang telah jadi, tetapi yang sedang menjadi. Individu mempunyai peran emansipasif di dalam kehidupan sosial budaya, termasuk melalui proses pendidikan dalam lingkungan keluarga (batih) dan sekolah. Di dalamnya peranannya yang emansipatif tersebut maka individu bukan hanya sebagai obyek dari perubahan sosial, tetapi sekaligus pula berperan sebagai faktor dari pengubah dan pengarah dari perubahan sosial.
            Kalau memang benar bahwa fungsi pendidikan nasional sebagai pendorong perubahan sosial, khususnya untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Tapi kenapa Negara Indonesia terkenal dengan Negara terkorup di Dunia, Kejahatan-kejahatan merajalela, Kerusakan alam dimana-mana. Apakah fungsi nilai-nilai pendidikan sebagai faktor perubahan tidak terealisasikan dalam kehidupan yang nyata?
            Inilah pertanyaan-pertanyaan yang dapat kita jadikan pekerjaan rumah untuk mewujudkan kembali fungsi pendidikan yang benar-benar sebagai pendorong perubahan sosial yang lebih baik, maju dan berperadaban dengan nilai-nilai keagamaan, moral/akhlak mulia.

D. Daftar Pustaka

Iman, Muis Sad. 2004. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Jalal, Faisal dan Supriadi, Dedi (ed.).2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Idi, Abdullah dan Suharto, Toto. 2006. Revitalisasi Pendidikan Islam. Kata Pengantar: Prof. Dr.H.J. Suyuthi Pulungan, M.A. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Supriyoko. Ki. Materi kuliah Politik Pendidikan Nasional sessi ke-9 tema: Pendidikan Nasional Sebagai Pendorong Perubahan Sosial.
Usman, Husaini. 2006.
 Ella Yulaelawati. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran. Filosofi, Teori,  dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya.
UU Guru & Dosen dan UU Sisdiknas. 2006. Wipress.
www. id.wikipedia.org





[1] Muis Sad Iman. 2004. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta: Safiria Insania Press., hal. 2
[2] Ibid., hal. 1
[3] Faisal Jalal dan Dedi Supriadi (ed.).2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa., hal. 42.
[4] Ibid.,hal. 43
[5] Abdullah Idi dan Toto Suharto. 2006. Revitalisasi Pendidikan Islam. Kata Pengantar: Prof. Dr.H.J. Suyuthi Pulungan, M.A. Yogyakarta: Tiara Wacana., hal. Vii-viii.
[6] www. id.wikipedia.org
[7] H.A.R. Tilaar. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia., hal. 3-4.
[8] Ki Supriyoko. Materi kuliah Politik Pendidikan Nasional sessi ke-9 tema: Pendidikan Nasional Sebagai Pendorong Perubahan Sosial.
[9] Dalam Pendekatan perencanaan pendidikan, kita mengenal 4 pendekatan, yaitu: pertama, Sosial Demand Approach (pendekatan kebutuhan sosial), kedua, man Power Approach (pendekatan ketenaga kerjaan), ketiga, Cost And Benefit (pendekatan untung-rugi), keempat, cost effectiveness (efektivitas). (Husaini Usman. 2006.)
Keempat pendekatan ini mencoba memberikan alternatif pendekatan perencanaan pendidikan agar sesuai dengan perubahan sosial di lingkungan sekitarnya. Misalnya di suatu daerah lebih banyak dibutuhkan tenaga kerja dalam bidang tehnik, maka dapat mendirikan sekolah dengan pendekatan perencanaan man power Approach. Contohnya STM, SMK.
[10] H.A.R. Tilaar. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan., op.cit., hal 5.
[11] Ibid., hal. 5
[12] Ibid., hal 6
[13] H.A.R. Tilaar. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan., op.cit., hal 6.

[14] Ella Yulaelawati. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran. Filosofi, Teori,  dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya., hal. 2
[15] UU Guru & Dosen dan UU Sisdiknas. 2006. Wipress., hal.58