Rabu, 07 September 2016

TATA KRAMA ATAU UNGGAH-UNGGUH

Kata tata krama atau pada masyarakat Jawa disebut unggah ungguh pada saat ini hanya tinggal sebutan saja, sementara implementasinya dalam kehidupan sehari-hari sudah menjadi barang langka. Bahkan beberapa orang beranggapan bahwa tata krama atau unggah-ungguh itu suatu aturan atau prilaku yang rumit. Sehingga hanya akan menghambat pergaulan, maupun menghambat kemajuan saja.
Dari pemikiran tersebut akhirnya menjadikan tata krama atau unggah-ungguh semakin ditinggalkan didalam tata perilaku bermasyarakat. Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, tanpa adanya kesadaran untuk memulai menerapkan kembali tata krama atau unggah-ungguh dalam kehidupan bermasyarakat, maka tidak tertutup kemungkinan unggah-ungguh atau tata krama yang menjadi budaya bangsa ini akan hilang lenyap, tergantikan budaya baru yang tidak mengakar pada budaya bangsa yang adiluhung.


Tata krama jawa, unggah-ungguh jawa atau sopan santun  dijadikan pedoman oleh masyarakat Jawa dalam berperilaku ataupun berinteraksi. Tata krama mengandung nilai-nilai adat yang berlaku pada daerah tertentu sehingga antar suku bangsa tidak akan sama atau berlaku. Tata krama diperoleh oleh individu melalui proses interaksi dalam keluarga atau masyarakat. Tata krama yang masih dijalankan oleh orang Jawa antara lain tata krama dalam penggunaan bahasa, berpamitan, duduk, makan dan minum, berpakaian, dan bertamu.
Tata krama dalam lingkungan keluarga misalnya penggunaan bahasa dalam percakapan sehari-hari. Orang Jawa menggunakan bahasa Jawa untuk lebih mempererat hubungan antar anggota keluaga. Pada saat ini penggunaan bahasa Jawa Krama Inggil yang merupakan bahasa yang digunakan untuk menghormati orang yang lebih tua sudah jarang digunakan. Banyak anak yang menggunakan bahasa Ngoko kepada orang tua atau kakaknya. Anak-anak jaman sekarang bahkan banyak yang tidak mengenalinya lagi karena sejak kecil tidak diajarkan oleh orang tuanya. Banyak orang tua yang lebih memilih mengajarkan bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa.

Sejauh pengamatan saya, anak masih mematuhi nasihat orang tua. Mematuhi nasihat orang tua merupakan suatu bentuk penghormatan. Namun jika diperintah untuk suatu hal terkadang enggan untuk menjalankannya dan apabila dijalankanpun dengan penuh keterpaksaan.

Seorang anak jika hendak bepergian atau meninggalkan rumah, pada umumnya telah dibiasakan untuk berpamitan. Berpamitan merupakan salah satu bentuk sopan santun. Tujuan dari berpamitan adalah meminta restu agar tidak terjadi suatu hal yang tidak diinginkan dan supaya orang tua tidak mengkhawatirkan kepergian anaknya. Pada saat berpamitan biasanya disertai dengan mencium tangan dan kedua pipi orang tua.

Tata cara duduk yang benar adalah posisi duduk yang sopan. Apabila menggunakan kursi maka kedua kaki harus berada di bawah dan dengan posisi yang rapat. Pada saat ini posisi duduk di dalam suatu keluarga baik di atas kursi maupun di lantai dilakukan dengan posisi yang santai dan senyaman mungkin. Posisi duduk tidak lagi seformal jaman dahulu. Misalnya pada saat nonton TV bersama atau pada saat sedang santai.

Tata krama dalam makan dan minum yang masih dijalankan hingga saat ini adalah tidak berbunyi (berkecap) pada waktu makan. Berkecap pada waktu makan dianggap kurang sopan dan mengganggu. Disamping itu banyak tata krama dalam makan dan minum yang mulai mengalami perubahan. Ketika sedang makan dan minum bersama-sama dengan teman kebanyakan dilakukan sambil mengobrol. Padahal makan sambil mengobrol dapat mengakibatkan tersedak dan mengganggu pernapasan. Pesta berdiri juga menjamur dimana-mana. Hal tersebut memaksa orang yang hadir makan dan minum dalam posisi berdiri. Bukan hanya di pesta saja melainkan sekarang sudah menjadi kebiasaan untuk makan dan minum dalam posisi berdiri dalam kehidupan sehari-hari.

Pada jaman dahulu, orang Jawa dalam berpakaian menggunakan pakaian khas Jawa dan jarik. Seiring dengan perkembangan jaman, pakaian diproduksi dengan berbagai model, pakaian khas dan jarik tersebut sudah mulai ditinggalkan. Perempuan saat ini banyak yang menggunakan celana, padahal dahulu celana hanya untuk laki-laki. Dalam berpakaianpun orang mulai meninggalkan kesopanan. Orang yang berpakaian dengan baju ketat mini, dapat dijumpai dimana-mana.
Bertamu merupakan aktivitas berkunjung ke rumah orang lain baik yang sudah dikenal atau belum. Ada tata krama bertamu yang berlaku dalam masyarakat. Orang yang bertamu harus memperhatikan waktu yang tepat. Jangan bertamu pada saat jam istirahat karena akan mengganggu waktu yang punya rumah. Jika sudah sampai di tempat yang dituju sebaiknya mengetuk pintu dan memberi salam, setelah itu mengutarakan maksud dan tujuan berkunjung. Sebagai orang yang bertamu juga harus menghormati pemilik rumah, apabila dihidangkan sajian sebaiknya dimakan supaya tidak menyakiti hati pemilik rumah. Saat ini tata cara dalam bertamu tersebut masih dijalankan.

Pada saat ini tata krama sudah mengalami beberapa perubahan karena masuknya informasi dari berbagai media. Masuknya berbagai media baik cetak maupun elektronik sangat berpengaruh terhadap penggunaan tata krama terutama generasi muda. Berbagai informasi yang masuk akan berpengaruh terhadap tatanan nilai yang berlaku di masyarakat. Masyarakat Jawa cenderung meniru budaya yang masuk melalui media tersebut dalam bertindak dan berperilaku. Namun bagi yang bisa membedakan hal-hal yang baik dan buruk tentu tidak akan terpengaruh oleh masuknya budaya asing tersebut.

Senin, 05 September 2016

SENGKALAN DAN CANDRASENGKALA

SENGKALAN DAN CANDRASENGKALA

Sengkalan merupakan rangkaian kata-kata menjadi kalimat panjang yang memiliki makna, yang juga menandakan tahun perhitungan tahun jawa. Dalam tradisi jawa biasanya tahun dihitung menggunakan peredaran bulan, yang dalam bahasa jawa disebut , candra. Bermula dari sinilah kemudian susunan kata-kata menjadi rangkaian kalimat panjang yang menjadi penanda tahun tersebut disebut Candra sengkala.
Penunjukan dan pemaknaan dalam Sengkalan tersebut didasarkan menurut watak (sifat) setiap kata atau kalimat yang masing-masin bermakna angka tertentu. Tata cara pembacaan angka tahunnya dimulai dari belakang.
Menurut bentuk wujudnya, Sengkalan dibedakan menjadi 2 macam :
1. Berupa rangkaian kata menjadi kalimat disebut dengan Sengkalan Lamba.
2. Berupa rangkaian gambar lukisan yang disebut dengan Sengkalan Memet.
Adapun beberapa contoh Watak (sifat) setiap kata adalah sebagai berikut :
Watak 1 :   Gusti Allah, Nabi, Janma, Srengenge, Rembulan, Bumi, Lintang, Sirah, Gulu, Nata, Irung,   Ati, Bunder, Iku, Urip, Aji, Praja, Tunggal, Wutuh, Nyata, Eko, lsp.
Watak 2 :   Tangan, Suku, Mripat, Swiwi, Alis, Penganten, Kembar, Nembah, Nyawang, Nyekel, Mireng, Lumaku, Mabur, Dwi lsp.
Watak 3:    Geni, Murub, Panas, Putri, Estri, Welut, Jurit, Kaya, Lir, Guna, Cacing, Sorot, Tri, lsp.
Watak 4:    Banyu, Segara, Kali, Kreta, Keblat, Karya, Bening, Brahmana, Satriya, Sudra, Catur, lsp.
Watak 5:    Buta, Angin, Alas, Jemparing, Tata, Pandawa, Panca,lsp.
Watak 6:    Rasa (legi, pait, asin), Tawon, Lemut, Obah, Wayang, Mangsa, Kayu, Sad,lsp
Watak 7:    Gunung, Tunggangan, Pandita, Swara, Guru, Mulang, Sapta, lsp.
Watak 8:    Gajah, Naga, Baya, Wasu, Pujangga, Tekek, Kadal, Ngesthi, Wanara, Astha,lsp.
Watak 9:    Lawang, Gapura, Guwa, Jawata, Menga, Ganda, Terus, Nawa,lsp.
Watak 0:    Suwung, Sirna, Rusak, Tanpa, Ilang, Mati, Muluk, Duwur, Awang-awang, Suwarga, Langit, Adoh, Dasa, lsp.
Contoh penggunaan Sengkalan atau Candra Sekala sepaerti :
 1. Gapura Trus Gunaning Janmi
        9            9          3            1      Menjadi 1399 tahun Jawa menunjukkan berdirinya Masjid Demak
2. Naga Muluk Tinitihan Janma
      8         0            7            1         Menjadi 1708 tahun Jawa menunjukkan berdirinya panggung   Sanggabuwana di pelataran Kraton Surakarta
3. Sirna Ilang Kretaning Bumi
       0        0          4              1          Menjadi 1499 tahun Jawa atau tahun Saka atau tahun 1478 M tahun runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Penjelasan Sengkalan yang lain adalah sebagai berikut :
Dalam Bahasa Jawa, tembung sengkala  berarti 1) kecelakaan, halangan, 2) angka tahun yang dilambangkan dengan kata-kata, atau gambar yang mempunyai makna. Dalam artikel ini,  akan dibahas sengkala dalam arti angka tahun yang dilambangkan dengan kata-kata atau gambar yang mempunyai makna.
Kata sengkalan   ini berasal dari kata saka , dan kala . Saka adalah nama suku (Caka ) dari India yang pernah migrasi ke Jawa, dan kala yang berarti waktu, atau tahun. Jadi saka kala berarti Tahun Saka. Tahun Saka dimulai sejak Raja Saliwahana, Ajisaka, naik tahta, pada tahun 78 Masehi. Tembung saka berubah bunyi menjadi sangka , lalu berubah menjadi sengka. Tembung sengka diikuti tembung kala , menjadi sengkala .
Ada surya sengkala , yaitu sengkalan yang dibuat berdasar kalender surya (solar calendar), misalnya Tahun Masehi. Ada juga candra sengkala   yang dibuat berdasar kalender bulan (lunar calendar ), misalnya kalender Islam Hijriyah atau Kalender Jawa. Sengkalan boleh memakai kalender Masehi, Islam, atau Jawa.
Sengkalan dapat dipakai untuk menandai lahirnya seseorang, berdirinya suatu lembaga, daerah, kota, negara,  atau berdirinya suatu bangunan (istana, kantor, gapura). Bisa juga untuk menandai kematian, berakhir, bubar, atau ditutupnya suatu lembaga. 
Ada sengkalan lamba, miring, memet , dan sastra . Sengkalan lamba mempergunakan kata-kata yang sederhana , misalnya "Buta Lima Naga Siji".   Buta berwatak 5, lima berwatak 5, naga berwatak 8, dan siji berwatak 1, setelah digabung menjadi 5581, lalu dibalik, berarti tahun 1855.
Sengkalan miring merupakan sengkalan lamba juga, tetapi mempergunakan kata-kata miring (padanan), yang lebih rumit daripada  sengkalan lamba. Misalnya sengkalan "Lungiding Wasita Ambuka Bawana ". Kata lungid berarti tajam; yang dimaksud adalah tajamnya senjata (gaman ), gaman mempunyai watak 5. Kata wasita berarti pitutur jati , atau nasihat suci; pitutur jati berkaitan dengan resi, wiku , atau pandhita yang berwatak 7. Yang dimaksud dengan kata ambuka, adalah lawang atau gapura yang berwatak 9, dan kata bawana maksudnya adalah bumi yang berwatak 1. Diperoleh angka 5791, yang berarti tahun 1975.
Contoh lain, misalnya "Naga Salira Ambuka Bumi ". Naga dan salira merupakan lambang angka 8, ambuka lambang 9, dan bumi lambang 1. Jadi tersusun 8891. Susunan angka ini harus dibalik, sehingga menjadi tahun 1988.  
Menurut buku Babad Tanah Jawi (sejarah Majapahit), runtuhnya kerajaan Majapahit ditandai dgn sengkalan "Sirna Ilang Kretaning Bumi" , masing-masing menunjukkan angka 0, 0, 4, dan 1, lalu dibalik menjadi 1400 Tahun Saka atau 1478 M. Gedung DPRD Wonosobo diberi sengkalan  "Sabda Pandhawa Raga Nyawiji ", karena didirikan pada tahun 1957. Contoh lain, misalnya ada orang yang lahir pada tahun 2011 M. Mula-mula angka ini dibalik menjadi 1102, lalu pilih kata yang dianggap cocok, misalnya "Aji Budaya Muluk Samya ". Artinya: nilai budaya yg terbang (manfaat, berkembang) bersama sesama.
Sengkalan memet memakai lukisan, gambar, atau ornamen, atau memakai Huruf Jawa. Sengkalan memet dapat dijumpai pada arca, candi, atau gedung.
Di bagian bagian atas gapura magangan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ada ornamen dua naga, yang ekornya ke mengarah atas, lalu melilit, menyatu. Ornamen ini dibaca "Dwi Naga Ngrasa Tunggal" . Dwi berwatak 2, naga berwatak 8, ngrasa berwatak 6, dan tunggal berwatak 1. Diperoleh susunan angka 2, 8, 6, dan 1,sehingga diperoleh tahun 1682, yaitu saat dibangunnya bagian itu.
Di kraton Surakarta, ada ornamen yang dibaca "Naga Muluk Tinitihan Janma" . Naga berwatak 8, muluk (terbang) berwatak 0, tinitihan (ditunggangi) berwatak 7, dan janma (manusia) berwatak 1; setelah digabung menjadi 8071, setelah dibalik menjadi 1708.
Sengkalan merupakan chronogram (Yunani; chrono : waktu, gramma : huruf). Chronogram adalah kalimat yang menyembunyikanangka-angka, yang berkaitan dengan tahun. Sebagai contoh, kalimat AM ORE M ATV RI TAS, jika diambil huruf yg bold , menjadi MMVI, lambang angka Romawi untuk tahun 2006. M y D ay C losed I I n I mmortality, adalah chronogram , yang menunjukkan tahun wafatnya Ratu Elizabeth I, MDCIII= 1603.
 Berikut adalah tembung (kata) dan wataknya.
Watak 1 (satu)
Benda atau sifat yang berwatak 1, adalah:
1. Cacahnya satu: aji (harga, nilai), bangsa , bathara , budaya, budi , dewa , dhara (perut), gusti, hyang, nabi, narendra , narpa (raja), narpati (raja), nata (raja), pangeran, praja (negara), raja, ratu. swarga (surga), tata (aturan), wani (berani), wiji (biji), urip (hidup).
2  Bentuknya bulat: bawana (bumi), bumi , candra (bulan), jagad (bumi), kartika (bintang) rat (bumi), srengenge (matahari), surya (matahari), wulan (bulan).
3. Berarti ‘satu’: eka, nyawiji (menyatu) , siji, tunggal.
4. Berarti ‘orang’: janma, jalma, manungsa, tyas, wong
Watak 2 (dua)
Benda atau sifat yang berwatak 2, adalah:
1. Cacahnya dua : asta (tangan), kuping, mata, netra, paningal (mata), soca (mata),  swiwi (sayap), talingan (telinga), sungu (tanduk), supit.
2. Fungsi no 1 di atas: ndeleng (melihat), ndulu (melihat),  ngrungu (mendengar)
3. Berarti ‘dua’: apasang, dwi, kalih, kembar, penganten.
  Watak 3 (tiga)
1. Berarti ‘api’ : agni , dahana , geni , pawaka , puji
2. Sifat api: benter (panas), murub (menyala), kukus (asap), panas , sorot , sunar (sinar, cahaya), urub (nyala).
3. Berarti ‘tiga’: hantelu, mantri , tiga, tri, trisula, trima, ujwala, wredu
Watak   4 (empat)
1. Berkaitan dengan air: bun (embun), her , tirta, toya, samodra,   sendang, segara (laut), sindang, tasik (laut), wedang, udan.  
2. Berarti ‘empat’: papat, pat, catur, sekawan, keblat, warna (kasta)
3. Berarti ‘bekerja’: karya, karta, kirti, kretaning, pakarti
Watak 5 (lima)
1. Cacahnya lima: cakra (roda), driya (indra), indri, indriya, pandawa
2. Berarti ‘raksasa’ : buta , danawa, diyu, raseksa, raseksi, wisaya, yaksa
3. Berarti ‘senjata’: bana, gaman , panah, pusaka, sara, jemparing , warajang, lungid (tajam)
4. Berarti ‘angin’ : angin , bayu, samirana, maruta, sindung
5. Berarti ‘lima’: lima , gangsal, panca, pandawa
Watak   6 (enam)
1. Berkaitan dengan ‘rasa’: amla, asin, dura, gurih, kecut, legi pait, pedes, rasa, sinesep, tikta
2. Benda ‘asal rasa’: gendis, gula, uyah
3. Berarti ‘enam’: nem, retu (enam tahun), sad,
4. Hewan ‘berkaki enam’: bramara, hangga-hangga (laba-laba),   kombang, semut , tawon
Watak 7 (tujuh)
1. Berkaitan dengan ‘petapa’: biksu, dhita, dwija, muni , pandhita, resi, sabda, suyati  wiku, yogiswara, wasita
2. Berarti ‘kuda’ : aswa, jaran, kapal, kuda, turangga , wajik.
3. Berarti ‘gunung’: ancala , ardi, arga, giri, gunung, prawata, wukir
4. Berarti ‘tujuh’: pitu, sapta,
Watak 8 (delapan)
1. Berkaitan dengan ‘hewan melata’ : bajul, baya, bunglon, cecak,   menyawak, slira, tanu, murti.  
2. Berarti ‘gajah’: gajah, dirada , dwipangga, esthi, kunjara, liman,  matengga  
3. Berarti ‘naga’: naga, sawer, taksaka , ula
4. Berarti delapan : asta, wolu  
Watak   9 (sembilan)
1. Benda ‘berlubang’: ambuka, babahan, butul (tembus), dwara, gapura, gatra (wujug), guwa, lawang, rong, song, trusta, wiwara, wilasita,   
2. Berarti ‘sembilan’: nawa, raga, rumaga, sanga.
Watak 0 (nol)
1. Bersifat tidak ada atau hampa: asat, boma, gegana, ilang , murca (hilang) , musna , nir (tanpa), sirna (hilang),  suwung, sunya, tan,   umbul (melayang).
2. Berarti ‘langit’: akasa, gegana, dirgantara, langit, swarga, tawang ;
3. Sifat langit: duwur, inggil, luhur
4. Bersifat menuju langit : tumenga, mumbul, muluk, mesat
Untuk membuat sengkalan, kalimat harus punya makna yang utuh, puitis, dan indah.
Untuk tahun 2012 ini ada beberapa contoh sengkalan seperti :
Nyawang Praja Adoh Lumaku.
Nyekel Bumi Tanpa Tangan.
Manembah Gusti tanpa Mata.
Manembah Gusti Swarga Keasta.
Nyembah Gusti tanpa Swiwi, dll.

DKD Kebumen Buka Kelas Gamelan Tradisional

DKD Kebumen Buka Kelas Gamelan Tradisional
Minat generasi muda Kebumen terhadap seni karawitan dinilai sudah mulai memprihatinkan. Pasalnya, saat ini sangat jarang anak-anak muda yang mau belajar kesenian tradisional tersebut. Tak heran para pengrawit di kabupaten yang memiliki slogan Beriman ini didominasi oleh kalangan orang tua.

Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kebumen, sebagai lembaga yang bertugas melakukan pembinaan terhadap kesenian pun tak tinggal diam. Saat ini, DKD rutin menggelar latihan menabuh gamelan seminggu dua kali, yaitu setiap Selasa malam dan Jumat malam.  Latihan bersama ini telah berjalan memasuki tahun kedua.
Ketua Umum DKD Kebumen Pekik Sat Siswonirmolo, mengatakan untuk kebutuhan berlatih pihaknya memanfaatkan gamelan milik Pemkab Kebumen yang sehari-hari berada di pendopo rumah dinas Bupati ataupun meminjam gamelan di SMP Taman Dewasa Kebumen. Pengampu pelatihan terdiri dari dua orang, yakni Bambang Budiono, dalang wayang kulit dari Jatijajar dan Sutardjo, praktisi gamelan dari Kelurahan Bumirejo, Kecamatan Kebumen.

"Pesertanya saat ini sudah sampai belasan," kata Pekik Sat Siswonirmolo, kepada Kebumen Ekspres disela-sela latihan, kemarin.

Ia menjelaskan, pelatihan kegiatan tersebut bertujuan untuk menumbuhkan generasi seniman-seniman baru di Kebumen yang hampir ditinggalkan anak-anak muda. Selain itu, pelatihan tersebut tidak dipungut biaya apapun. "Peserta tinggal datang dan bergabung untuk latihan," ujarnya.

Selain itu, meski DKD tidak mendapatkan kucuran dana dari APBD Kabupaten Kebumen sejak 2015, namun semangat dewan kesenian tidak patah semangat untuk melakukan pembinaan dan pengembangan seni dan kebudayaan. Seperti acara Pawartos Kebumen (berita seputar Kebumen berbahasa Jawa), Selamat Siang Kebumen (SSK) berbahasa jawa, dan acara Ngadurasa, yang semuanya bekerjasama dengan Ratih TV Kebumen.

Tak hanya itu, DKD juga mengirimkan kontingen dalang bocah ke Festival Dalang Bocah ke Banjarnegara dan berhasil menjadi juara 1, 2 dan harapan 3 tingkat Jawa Tengah dan DIY.

Minggu, 04 September 2016

KETHOPRAK DANGSAK DKD KEBUMEN



”Reksa Mustika Bumi”
Ketoprak Dangsak Pentas Kolaborasi Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen
















https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5Tg7WQUSsENPX4ZECuEpAYMFRLSPunbkQZYPR_uphEgUEQhyPt4azZfv4Z6epKKghsAmuPjp7wmLMbHtStYLM7jNWWkhCBfW-lGINXnzdpd2vKFxsEMlcdXA4r0Ytk_E5BUr4i1itOic/s1600/1367_caos-cepet.JPGDewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen kembali menggelar pentas kolaborasi Ketoprak Dangsak yang mengangkat lakon ”Reksa Mustika Bumi”, di panggung Jateng Fair PRPP Semarang, Senin (29/08) malam. Lakon yang diusung dalam pementasan ketoprak tersebut mengangkat isu nasionalisme, di tengah ancaman krisis kebanggaan generasi muda pada  potensi budaya daerah. Lakon ”Reksa Mustika Bumi” yang naskahnya ditulis oleh Pekik Sat Siswonirmolo membeberkan pertarungan antara kompeni yang  bernafsu menguasai daerah jajahan dengan masyarakat lokal daerah pegunungan atau pareden Kebumen.
Pentas lakon yang disutradarai oleh Pekik Sat Siswonirmolo dan  berdurasi dua jam ini melibatkan sekitar 30 pemain terdiri atas pelaku seni tradisi cepetan dari Desa Watulawang, teater Ego Kebumen, Paguyuban Seni Rasa Kawedar Kebumen, dan beberapa pengurus DKD Kebumen.
Pementasan ini juga didukung iringan gending digawangi oleh Ki Bambang Budiono (DKD) yang juga seorang dalang asal Desa Jatijajar, Ayah dan Ki Sutarjo S.Pd, guru SMP 2 Kutowinangun. Pementasan kesenian ini menggunakan  iringan gamelan dari SMP Taman Dewasa yang dikolaborasikan dengan Bass drum dan perkusi mas Aris, guru SMK Batik Sakti 1 Kebumen. Sejumlah pemain teater terlibat pada pementasan itu, antara lain Putut Ahmad Su’adi, Sahid Elkobar , Nunung (Teater Ego), penari Pipin Damayanti (PNS Guru),Pekik Sat Siswonirmolo (pengurus DKD), Sakum (Roso Kawedar).
Secara umum pentas seni, dari kabupaten berslogan Beriman, yang menggunakan bahasa gado-gado Bahasa Indonesia dan Jawa itu, cukup menggemparkan suasana panggung Jateng Fair 2016 di PRPP Semarang  di tengah minimnya pentas tradisional. Meskipun dalam guyuran hujan, tidak menyurutkan minat, pengunjung PRPP menggunakan payung menyaksikan pementasan. Penampilan Tari Cepetan yang juga disebut Dangsak cukup memukau pengunjung PRPP. Terbukti setelah pementasan banyak penonton yang berebut untuk foto bersama, dan tidak ketinggalan ada 2 orang anggota Polisi yang ikut berfoto dengan meminjam kostum Cepetan. Bahkan seusai pementasan para pemain Kethoprak Dangsak, khususnya penari Cepetan harus menuruti permintaan panitia untuk ikut pawai, diarak mengelilingi area PRPP. menggunakan kereta kelinci.
Kethoprak Dangsak Lakon Reksa Mustika Bumi merupakan produksi ke 4  dari Dewan Kesenian Daerah (DKD) bercerita tentang keteguhan local genius dalam mempertahankan kemerdekaan. Kethoprak Dangsak sendiri merupakan sebuah ijtihad kebudayaan Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Kebumen dalam rangka memacu kreatifitas dan semangat kolaborasi bagaimana kesenian khas Kebumen ini dapat lebih diterima oleh khalayak, maka memunculah satu jenis kesenian baru, sebuah pertunjukan kolaboratif kethoprak yang merupakan seni tradisi asli Indonesia modern, dengan berbasis lakon yang dinaskahkan dengan mengambil spirit dan cita rasa Dangsak atau Cepetan Alas yang merupakan potensi seni daerah kabupaten Kebumen.
Kethoprak Dangsak memiliki visi yang sejalan dengan fungsi seni sebagai wujud respon sosial, hingga pada prakteknya naskah-naskah yang dimunculkan diupayakan dapat kontekstual terhadap jiwa jaman dan memiliki sensitifitas tang tinggi terhadap masalah yang dihadapi masyarakat, sehingga keberadaannya semakin berperan dan memiliki makna.
Lakon Reksa Mustika Bumi ini menarik karena konteksnya terhadap situasi kontemporer. Kasus krisis nasionalisme pada generasi muda merupakan ancaman bagi keutuhan NKRI, sehingga mempertahankan kemerdekaan dengan menjaga persatuan dan kesatuan  melalui pemberdayaan budaya yang berbasis kearifan lokal menjadi tanggung jawab semua warga masyarakat, khususnya generasi muda.
“Kowe kabeh para pemuda ing desa kene nduweni tanggung jawab kang gedhe banget kanggo melu berjuang, mbelani bumi pertiwi. Kompeni aja diadepi nganggo gegaman, awake dewek mesti kasoran. anangin kudu diadepi kanthi cara olah budi daya kang wicaksana. Cepetan utawa Dangsak bisa dadi sarana kanggo ngusir kompeni saka bumi pareden kene. Sarate kowe para pemuda kudu gembleng nyawiji.” Salah satu dialog Ki Rekso (Pekik) pada salah satu adegan.
“Rasa capai selama persiapan dan latihan, lunas terbayar malam ini” kata Putut Ahmad Su’di yang bertindak selaku asisten sutradara, mengungkapkan rasa puasnya seusai menyaksikan pementasan.