Rabu, 27 April 2011

Sekolah Sebagai Pusat Perubahan Sosial*

 http://zakiryacub.wordpress.com/2007/05/11/sekolah-sebagai-pusat-perubahan-sosial/
 May 11, 2007@ 2:53 am
Oleh : Muhammad Zakir Akbar**
Salam Sejahtera untuk kita semua…
Ibu Bapak yang saya hormati!!!
MEMULAI pembicaraan ini saya ingin menyampaikan penghargaan kepada pihak panitia yang telah mengundang saya untuk turut serta memberi sumbang saran dan pikiran untuk merefleksikan kondisi pendidikan di daerah kita sebagai bagian dari kegiatan peringatan Hari Pendidikan nasional yang kita peringati setiap tanggal 2 Mei. Kendati begitu, naif rasanya untuk bicara banyak di depan para ibu dan bapak guru serta para pelaku pendidikan pada umumnya yang tentu sudah sangat berpengalaman.
Namun, karena telah diberi amanat, maka saya akan mencoba memberikan perspektif yang lain dalam memotret dunia pendidikan kita. Mungkin saya akan sedikit berbeda dengan yang lain dalam melihat persoalan pendidikan kita. Namun yang pasti, kita bersepakat untuk memajukan dunia pendidikan.
Apa yang akan saya sampaikan hari ini adalah hasil cermatan saya atas apa yang saya alami ketika menjadi Anak TK di Polewali, bersekolah SD di SDN No.017 di Manding, MTs Pesantren Darul Arqam di Makassar, SMA 1 di Polewali dan PT di UGM, Yogyakarta. Di samping itu saya juga pernah menjadi Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan dan Fakultas Pertanian Unasman dan saya kebetulan aktif di berbagai kegiatan yang berkaitan dengan advokasi di bidang pendidikan di bawah prakarsa Unicef, Unesco dan Bank Dunia.
Ibu Bapak yang saya hormati!!!
SEJAK kecil kita semua telah sangat dekat dengan sebutan sekolah. Hampir semua orang tua selalu menyarankan kepada anaknya untuk bersekolah dan memberi gambaran tentang indahnya bersekolah. Dulu, ketika belum memasuki usia sekolah, karena melihat gerombolan anak-anak berseragam menuju ke sekolah, maka dalam benak kita ada keinginan untuk ikut bersekolah. Sulit melacak pasti jawabannya, kenapa kita pada masa kecil dulu begitu senang ketika melihat anak sekolah yang berseragam. Mungkin karena indahnya pakaian seragam itu, mungkin karena desakan orang tua, mungkin karena kita tidak punya teman bermain di rumah atau mungkin-mungkin yang lain… Saya sendiri waktu bersekolah dulu lebih karena ikut-ikutan kepada dua orang kakak laki-laki saya yang terlebih dulu bersekolah.
Saya sengaja mengajak kita semua untuk set back ke belakang. Ini penting agar back mind kita yang membentuk struktur berpikir kita lebih mudah dipahami. Karena semua orang tidak bisa lepas dari sejarah masa lalunya. Apa bagaimana saat ini kita, adalah merupakan rangkaian masa lalu. Masa kecil. Karena kala itulah karakter kita terbentuk dan awal dari pengetahuan dan ilmu kita serap. Begitu pentingnya masa kecil, hingga dalam sebuah syair Arab dikatakan; Ta’allamu fissighari kannaqsi alalhajari, wa tallamu fil kibari kannaqsi alal mai (Belajar Diwaktu Kecil seperti menulis diatas batu dan belajar di waktu besar laksana menulis di atas air).
Saya ingin menyampaikan sebuah refleksi yang kerap saya ceritakan kepada beberapa teman. Pernahkah kita menyadari bahwa ketika pada masa lalu hampir seluruh anak SD di negeri ini diberi tugas menggambar maka; hampir seluruhnya akan menggambar DUA GUNUNG SATU MATAHARI. Kenapa bisa begini? Jawabannya bagi saya hanya satu, yakni; Proses penyeragaman telah memasung KREATIVITAS ANAK. Semua serba seragam. Mulai pakaian yang WAJIB MERAH HATI, PADA HARI JUMAT WAJIB PRAMUKA, baris-berbaris dan lainnya. Apalagi di tingkat SMP dan SMA. Dengan keberadaan GURU BP yang sejatinya diharapkan menjadi sarana konseling bagi anak, justru mendesain dirinya dirinya sebagai sosok yang mesti ditakuti. Akibatnya, banyak anak didik DISIPLIN secara SEMU.
PAPAN Nama dan Tanda Lokasi sekolah yang mesti ada, baju yang harus di dalam, rambut harus pendek, harus ikut upacara dan lainnya. Akibatnya, tidak sedikit anak didik yang kalau meminjam istilah Thomas Hobbes bersifat ASOSIAL, akan main curi-curi akal dengan guru BP. Merokok secara sembunyi, lompat pagar, pura-pura sakit untuk bolos dan sebagainya. Cobalah tengok, kenapa di Pasar Sentral Pekkabata hampir setiap harinya–bukan hanya waktu hari pasar–banyak anak sekolah yang bolos!!! Di samping beberapa faktor lain, menurut hemat saya, password-nya adalah KARENA SEKOLAH TIDAK NYAMAN. Karena yang terjadi bukanlah pencerahan, melainkan dominasi!!! Ini semua adalah sekelumit potret dari kondisi pendidikan kita. Kenapa ini bisa terjadi?
Bagi saya, jawaban yang layak diaksentuasi adalah karena sistem pendidikan yang ada menjadikan sekolah sebagai sebuah proses regulasi formal. Sebuah ajang untuk memperoleh legitimasi berupa ijazah, lain tidak, untuk menjadi cerdas, sistem pendidikan kita tidak memberi ruang itu. Disinilah anehnya. Guru, kepala sekolah dan pengelola pendidikan sering menuntut anak didik untuk pintar, tapi celakanya cara mereka justru secara sadar/tidak sadar menutup ruang tersebut. Disiplin diukur dengan rambut yang rapi, baju di dalam, pakaian yang seragam dan sebagainya. Akhirnya, sistem pendidikan yang ada hanya mampu mencetak anak didik untuk MENJADI, bukan MEMBUAT.
Makanya, jangan heran jika dari sepuluh anak didik yang ditanyai tentang citacitanya, bisa jadi lebih dari separuh bahkan mungkin seluruhnya akan menjawab; MAU JADI DOKTER, JADI PEGAWAI, JADI PILOT dan sebagainya. Hampir tidak pernah kita mendengar cita-cita mau MEMBUAT PESAWAT, MEMBUAT OBAT dan lainnya. Ini baru level cita-cita, belum yang lainnya.
Untuk itulah, pada kesempatan ini, saya ingin mengemukakan sekelumit gagasan tentang SISTEM PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN menuju tujuan sekolah sebagai PUSAT PERUBAHAN SOSIAL. Yang bermakna bahwa sekolah adalah ajang berproses, membuka dan mengembangkan nalar peserta didik serta membangun kesadaran kritis untuk mendesain kehidupan ke arah yang lebih baik.
Ibu Bapak Yang Saya Hormati!!!
BAGAIMANA menjadikan sekolah sebagai pusat perubahan sosial??? Ada beberapa hal yang menjadi prasyaratnya, meskipun mesti disadari bahwa ini bukan pekerjaan yang mudah. Butuh proses yang cukup lama dan panjang, meskipun tidak berarti kita harus berhenti dan berkata TIDAK….
Sekolah sebagai pusat perubahan sosial bermakna bahwa sekolah harus mampu melahirkan berbagai kreasi dan inovasi yang dapat dijadikan referensi dalam proses kehidupan, paling tidak perubahan terhadap anak didik, syukur-syukur terhadap masyarakat di sekitar sekolah tersebut. Perubahan itu terdiri atas PERUBAHAN PENGETAHUAN, PERUBAHAN SIKAP dan PERUBAHAN PERILAKU yang tentunya berciri damai…
Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan PERUBAHAN PARADIGMA dalam memandang sekolah. Sekolah tidak melulu harus diletakkan dalam WILAYAH NEGARA, namun semestinya menjadi WILAYAH PUBLIK…. Disini terjadi dilema!!! Ketika negara melepaskan dirinya dari sekolah, maka itu berarti bahwa sekolah mesti meregulasi dan menghidupi dirinya sendiri. Sebaliknya, ketika negara mengintervensi sekolah, maka pasti yang terjadi adalah hegemoni dan atau dominasi.
Coba kita lihat, mulai dari ribut-ribut DANA BOS yang bermakna ketergantungan
seluruh sekolah kepada negara—khususnya sekolah berlabel negeri—sampai pada persoalan mutasi guru dan kepala sekolah yang mesti mendapat restu dari Dinas Pendidikan. Ini adalah dua sisi mata uang. Dalam satu hal, masyarakat tidak mampu atau tidak dimampukan untuk membayar uang sekolah anaknya. Pada bagian lain, partisipasi masyarakat atas proses pendidikan di sekolah menjadi berkurang jika intervensi pemerintah terlalu besar.
Padahal, untuk mencapai cita-cita sekolah sebagai pusat perubahan sosial, kita memerlukan apa yang disebut dengan SISTEM PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN yang didukung oleh beberapa perangkat Utama, yakni:
1. Penyelenggaraan Sekolah Yang Mencerahkan (Guru dan Kepala Sekolah)
2. Struktur Masyarakat Yang Partisipatif
Apa yang kita kenal dengan Pendekatan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) sesungguhnya juga merupakan upaya agar sekolah dapat menjadi pusat perubahan sosial. Melalui tiga pilar utamanya: Manajemen (Kepala sekolah), PAKEM (guru) dan PSM (Peran serta masyarakat). Namun, untuk soal membangun partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan, akan dibicarakan pada kesempatan yang lain.
Faktanya, hingga sekarang, penyelenggara sekolah masih selalu berada dalam posisi yang tidak sepenuhnya mendukung Pendidikan Pemberdayaan. Dalam proses pengajaran misalnya, belum semua guru dan atau sekolah menerapkan metode PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) dalam proses belajar di sekolah.
Mengapa PAKEM menjadi penting??? Menurut Pablo Friere, seorang pendidik Berkebangsaan Brazil, ada 3 prinsip utama dalam proses pengajaran:
Pendidikan itu berciri “penyimpanan informasi”. Maksudnya, ilmu dan pengetahuan yang diperoleh siswa, disimpan dalam wilayah pasif ingatan pada otak/mind. Untuk mengeluarkan informasi ini, guru mesti membantu anak didik dengan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang patut dan memampukan peserta didik untuk mengembangkan skema-skema bagi penerapan aktif mereka. Tidak sebaliknya, melulu memberikan pertanyaan tertutup bagi murid yang jelas-jelas menutup perkembangan nalar mereka.
Pendidikan harus berdasarkan permintaan dan pengalaman hidup. Artinya ilmu yang diberikan mesti memiliki kontekstualitas dengan realitas hidup peserta didik. Inilah yang dimaksud dalam metode contekstual teaching and learning (CTL).
Proses pendidikan adalah proses pertukaran dan dialog atau refleksi dan aksi. Bukan CERAMAH!
Ibu Bapak Yang Saya Hormati!!!
LANTAS, bagaimana proses pendidikan kita sekarang??? Hingga saat ini, potret proses belajar di sekolah tidak lebih dari gambaran:
“Seseorang yang duduk di dalam ruangan adalah murid, seseorang yang berdiri (atau duduk?) di depannya adalah guru. Setiap orang tahu bahwa seorang guru adalah cerdas, aktif, enerjik. Mereka secara virtual membawa seisi kelas fokus kepadanya. Bagaimana dengan murid? mereka mungkin ingin tahu dan tidak begitu ingin tahu, bersahabat dan acuh-tak acuh, rajin dan pemalas, aktif dan pasif. Mereka dipisahkan dengan guru oleh garis batas yang tidak tampak. Perannya sangat jelas. Perannya berbeda”.
Ini sebuah pemotretan yang saya lihat dan alami. Kondisi yang dalam perspektif Sistem Pendidikan Pemberdayaan adalah sesuatu yang tidak dikenal alias asing. Sebaliknya, dalam Sistem Formalisasi Pendidikan, adalah lestari. Alasannya, model ini justru melanggengkan KULTUR DOMINASI yang sejatinya tidak mencerahkan.
Mengapa tembok ini tidak segera diruntuhkan??? Mengapa tidak ada kesempatan
yang sama antara guru dan murid? Apa yang dibutuhkan untuk itu? Mengapa kita
tidak mencoba belajar dalam suatu lingkaran??? Dimana guru dan murid melupakan perannya, dengan membuat lingkaran dan mulai belajar. Semua adalah sama. Dinding atau sekat yang tidak tampak itu dihancurkan. Tidak ada lagi guru dan murid. Yang ada hanyalah satu peran yakni: “setiap orang – untuk menjadi dirinya masing-masing dan hanya ada satu keinginan, yakni belajar”. Setiap orang mempunyai persamaan hak dan kesempatan. Dan peraturan adalah sama untuk semuanya, misalnya:
Semua harus tepat waktu
Semua harus tahu bagaimana cara mendengarkan: (Learn to listen and listen to learn). Jangan hanya ingin didengarkan
Semua mempunyai hak untuk mengungkapkan fikirannya.
Lalu guru dan murid mulai berbicara. Tentang apapun. Tentang dunia sekitar. Tentang kedudukan aktif manusia dalam kehidupan, soal kepemimpinan, konflik dan penyelesaiannya. Tentang suatu lingkungan dimana manusia hidup didalamnya, tentang waktu yang membawa sebuah kesempatan kepada siapapun, atau tentang diri masing-masing.
Lalu guru dan murid melihat bahwa semua orang adalah berbeda dan semua sangat menyukai perbedaan itu. Ini yang harus selalu dipraktekkan. Tidak ada seseorangpun yang penting, karena semua orang adalah penting. Kelompok minoritas juga mempunyai hak untuk didengarkan, mereka mempunyai hak untuk tetap minoritas. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk memaksakan pandangannya terhadap orang lain, untuk mengatur suatu peran. Setiap orang memilih perannya masing-masing.
Semua adalah sama, laki-laki dan perempuan. Tetapi apakah begitu di dalam kehidupan? Posisi apa yang ditempati oleh perempuan di masyarakat? Apakah perempuan bahagia dengan peranannya? Yang pasti, pendidikan anak perempuan masih didasarkan pada pedagogi pembedaan. Pendidikan semacam ini ditujukan untuk menekan perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki dan bukan untuk menemukan kesamaan-kesamaan yang dapat membantu menghilangkan pembedaan-pembedaan tersebut.
Pedagogi semacam ini mungkin saja dimulai dari sekolah atau masyarakat. Yang pasti dia menjadi lestari. Orang tua atau guru mendidik anak perempuan secara berbeda karena orang tua, kerabat, guru, tetangga melihat anak perempuan sebagai secara mendasar berbeda dengan anak laki-laki. Padahal, Perbedaan ini sebenarnya berdasarkan pembedaan yang disosialisasikan dan bukan secara fisiologis.
Lihat buku cetak yang digunakan sekolah dasar. Buku itu akan mengandung kalimat seperti “Ibu membersihkan jendela”. “Wati Pergi ke Pasar”. “Budi Pergi ke sekolah”. Mengapa tidak sesekali “Wati ke Sekolah dan Budi yang ke Pasar”??? Hal ini bermakna, sekolah turut serta dalam melangengkan pembedaan peran menurut jenis kelamin yang sering pula kita kenal dengan sebutan DISKRIMINASI JENDER. Ini sungguh tidak adil…. Anak perempuan berbeda dengan laki-laki secara biologis, Perbedaan ini, secara psikologis maupun fisiologis, mencerminkan perbedaan jenis kelamin. Peranan perempuan yang alami berhubungan dengan kehamilan, melahirkan dan menyusui.
Namun perbedaan seksual berbeda dengan perbedaan jender. Jender merujuk pada perbedaan sosial dan budaya antara perempuan dan laki-laki dan ditempatkan melampaui perbedaan fisik. Dalam masyarakat, perempuan cenderung mengambil peranan di wilayah domestik dan laki-laki pada wilayah publik.
Ibu Bapak Yang Saya Hormati!!!
KIRANYA telah nyata di hadapan kita tentang bejibun masalah pendidikan karena selalu menekankan dirinya pada formalisasi. Ini tentu menghambat cita-cita menjadikan sekolah sebagai pusat perubahan sosial. Justru sebaliknya, sekolah menjadi perpanjangan proses dehumanisasi.
Karenanya, mesti ada upaya dana langkah yang diambil untuk meletakkan pendidikan dalam bingkai pemberdayaan anak didik dan masyarakat. Dengan begitu, dominasi dapat dielakkan, hingga sekolah menjadi menara perubahan yang tidak perlu takut kepada siapapun dan hanya tunduk kepada kebenaran…. Hanya dengan begitu kita mampu melahirkan peserta didik yang kritis terhadap diri dan lingkungannya yang pada gilirannya mampu menciptakan kreasi dan inovasi menuju perubahan. Mungkin ini saja yang saya dapat sampaikan, semoga memberi hikmah. Mohon maaf atas segala ucapan yang berpretensi menyinggung. Sungguh tidak ada sedikitpun maksud saya untuk menjadi hakim, karena saya juga sadar akan segala keterbatasan saya…..
Sebelum mengakhiri pembicaraan ini, izinkanlah saya mengutip sebuah syair dari Kahlil Gibran:
Anakmu bukanlah anakmu,
Mereka adalah anak-anak kehidupan…
cinta kasihmu dapat kau berikan pada mereka, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka mempunyai pikiran sendiri,
Raga mereka dapat kau kurung, tapi tidak jiwa mereka,
Karena jiwa mereka tinggal di rumah masa depan,
Yang tak dapat kau kunjungi, Bahkan tidak melalui mimpimu,
Kau dapat berjuang untuk menyerupai mereka,
Tapi jangan coba buat mereka menyerupaimu,
Karena hidup tidak berjalan mundur,
Ataupun berlambat-lambat dengan hari kemarin,
Kau adalah busur yang melesatkan mereka,
Mereka adalah anak panah yang berjiwa
Akhirnya, selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga Cita-Cita Kihajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional yang dicetuskannya pada 2 Mei 1908 lalu, menjadi pelita dan semangat yang terus berkobar pada diri kita hingga mewujud. Mohan maaf atas segala KEKHILAFAN dan KATA YANG TIDAK MENGENAKKAN.
Wassalam
Manding, 1 Mei 2006
Pukul 02.11 Wita…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar